Cinta dan Kasih Sayang Menyelamatkan Sesama

Posted by "membaca Al Quran 0 komentar
KRISIS CINTA dan kasih sayang yang mewarnai relasi antarumat Islam dalam berbagai segi dan bidang kehidupan, seolah menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan pentingnya menyintai dan mengasihi sesama. Umat Islam pun seakan tidak memiliki figur sentral yang mampu meneladankan ketulusan untuk saling menyintai, mengasihi serta menyayangi. Akibatnya, di antara mereka, muncullah perasaan saling curiga, iri, pengkhianatan, saling merendahkan, memfitnah, menggibah, mendengki, mendendam, bertikai, menzalimi, menindas, bahkan saling mencelakakan.

Munculnya gejala krisis cinta dan kasih sayang yang melanda kehidupan banyak kaum muslimin, kerap terjadi di mana-mana. Dari mulai di ruang keluarga, hingga di tempat-tempat kerja. Tidak terkecuali, di institusi-institusi yang mengusung label Islam, gejala krisis kasih sayang juga sering mewarnai hubungan antarpersonilnya. Sungguh ironi dan menyedihkan. Bagaimana mungkin ukhuwah islamiyah yang kerap digembar-gemborkan itu bisa terwujud secara solid dan kokoh, jika krisis ini tetap terjadi seolah tiada henti. Padahal Rasulullah SAW, pecinta agung yang mulia menegaskan:

“Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai” (HR. Muslim)

Hal ini mungkin dikarenakan Lemahnya Peneladanan Terhadap Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan sekaligus terjebaknya mereka dalam pemahaman ayat dan atau hadist yang berkaitan dengan fitnah / ujian dan rusaknya islam di akhir zaman. Menggejalanya krisis cinta dan kasih sayang di kalangan komunitas umat Islam tentu saja bukan dikarenakan ajaran yang terkandung dalam agama yang dianutnya, dan bukan pula ketiadaan model yang patut dijadikan panutan. Persoalannya adalah lemahnya pengamalan terhadap Islam, serta “ketidakmauan” umat untuk betul-betul meneladani sang pecinta agung yang mulia, Nabi Muhammad SAW. Utamanya dalam konteks ini adalah keteladanan dalam menyintai, mengasihi, dan atau menyayangi sesama.

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai figur manusia terbaik. Beliau telah membuktikan kemampuannya dalam membawa manusia dari keterbelakangan pemikiran dan kerendahan akhlak menuju pencerahan dan kemuliaan. Dari kehidupan yang diselimuti kebencian, dendam, dan angkara murka, menuju kehidupan yang diberkahi dengan memaafkan, cinta dan kasih sayang.

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’ 107).

Ada yang mengartikan bahwa “rahmat” di sini adalah pencurah kasih sayang. Diutusnya Nabi merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia. Rasulullah adalah manusia yang menebarkan kasih sayang.

“Siapa yang tidak sayang pada manusia, maka tidak akan disayang oleh Allah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, dan Bukhari)

Upaya Meraih Kesuksesan dan Kebahagiaan dalam semua dimensi kehidupan, Nabi Muhammad SAW secara cukup gamblang telah menyontohkan bagaimana seharusnya kita sebagai umatnya, bersikap dan berperilaku agar rahmat dan keberkahan hidup menyertai. Dari mulai ketika menjalani kehidupan dalam ranah keluarga dan kekerabatan, hubungan antara “tuan” dengan “pembantu”, atasan dengan bawahan, antar rekan (mitra) kerja atau bisnis, kehidupan bertetangga, persahabatan, dalam relasi sosial dengan non-muslim, sebagai pemimpin dakwah, militer, maupun sebagai pemimpin sosial dan politik (umat).

Ketika mengkaji kehidupan Rasul mulia di semua sisi kehidupannya itu, tampak sekali bahwa beliau menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai landasannya. Tulusnya cinta dan besarnya kasih sayang beliau, tercurah kepada siapa pun yang menjalin relasi dengannya. Lebih dari itu, manusia agung ini kerap menunjukkan kasih sayang terhadap orang-orang yang memusuhi serta menzaliminya. Malahan, di balik ketegasan memberikan “hukuman” terhadap musuh-musuh Islam, acapkali beliau pun memperlihatkan kasih sayangnya terhadap mereka. Hal ini antara lain tampak dari kemauan Sang Nabi untuk mengampuni bahkan mengangkat derajat mereka.

Mengingat begitu tulusnya cinta atau kasih sayang yang mendasari setiap pergaulan Nabi, termasuk kemampuannya menghadapi beragam persoalan melalui pendekatan perasaan tertinggi kemanusiaan ini, maka dapat dikatakan bahwa beliau telah menerapkan “manajemen cinta” yang dalam pengertian sederhana, “manajemen” dapat dipahami sebagai “seni melaksanakan dan mengatur”.

Dalam konteks filosofi, ada yang berpendapat bahwa cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi / kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut. kebutuhan manusia yang paling dalam adalah kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan untuk mengatasi keterpisahan ini yang akan menyebabkan gangguan kejiwaan. Karena “cinta” yang dimaksud adalah cinta yang islami, tentunya pemahaman dari pengertian “cinta” ini juga harus berdasarkan nilai-nilai Islam. Inilah pemahaman cinta yang lebih luas, mendalam, serta bersifat hakiki.

Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama dari Damaskus di abad ke-7, melihat pemahaman cinta dalam ruang lingkup yang luas. Bahkan beliau mengemukakan adanya 6 peringkat cinta, yang dua di antaranya adalah shababah dan ‘itfh. Shababah yaitu cinta yang mampu melahirkan ukhuwah islamiyah. ‘Itfh (simpati) adalah rasa cinta yang memunculkan kecenderungan untuk menyelamatkan dan membantu sesama. dengan demikian, mengacu pada kedua pemahaman tersebut; “manajemen” dan “cinta”, maka “manajemen cinta” yang dimaksud adalah seni melaksanakan dan mengatur hubungan (antar manusia) yang dilandasi oleh keinginan untuk melahirkan ukhuwah islamiyah, membantu serta menyelamatkan sesama.

Di dalam cinta atau kasih sayang yang diteladankan Nabi SAW terkandung nilai-nilai produktif dan konstruktif seperti: menyebarkan salam, menjaga dan melindungi kehormatan manusia, mengokohkan keimanan, berlaku adil, sabar, pemaaf, tegas, ulet, memberikan pendidikan dan bimbingan, mempererat hubungan, menghormati, rendah hati, senang membantu, dermawan, memuliakan, memberikan rasa nyaman, menunjukkan perhatian, menjaga nama baik, mendoakan kebaikan, tabah, konsisten, berkemauan kuat, menjauhi sikap egois, memberikan kepercayaan, berani, menjaga citra diri, memotivasi, dan masih banyak lagi. Semua nilai, sifat, sikap, atau perilaku yang baik-baik itu adalah cerminan atau konsekuensi dari rasa cinta terhadap kebenaran dan atau kasih sayang terhadap sesama.

Langkah langkah teoritis dan praktis dalam mengimplementasikan nilai-nilai cinta atau kasih sayang sesuai kapasitas dan peran kita dalam semua aspek kehidupan. Baik dalam kehidupan berumahtangga dan berkeluarga, sosial, bisnis, dakwah, militer, hingga politik. beragam teori pengembangan diri (self development) dan kepemimpinan (leadership) yang menjadi rahasia kesuksesan Nabi Muhammad SAW di semua aspek kehidupannya adalah sumber inspirasi dan motivasi dalam memenej kehidupan pribadi dan sosial kita agar meraih kesuksesan dan kebahagiaan tanpa batas baik untuk diri sendiri , lingkungan dan seluruh alam semesta. 

Wallahu A'lam

0 komentar:

Post a Comment

Blogger news

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

About