Ikhwan Ash Shafa
0
komentar
Ikhwan As-Shafa (اخوان الصفا) Persaudaraan Kemurnian adalah sebuah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basra, Irak -yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah di sekitar abad ke-10 Masehi. Ajaran dan filosofi mereka dijelaskan secara terperinci dalam Ensiklopedia Ikhwan As-Shafa. Banyak cendekiawan Barat dan Islam yang berusaha menyelidiki identitas dari anggota persaudaraan ini, dan kapan mereka aktif.
Ikhwan as-Shafa adalah kumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Kumpulan ini berkembang pada abad ke dua Hijriah di kota Basrah, Iraq. Ikhwan as-Shafa (Brethren of Purity atau The Pure Brethen) adalah nama sekelompok pemikir Muslim rahasia (filosofi-religius) berasal dari sekte Syiah Ismailiyyah yang lahir di tengah-tengah komuniti Sunni sekitar abad ke-4 H/ 10M di Basrah. Tokoh terkemuka sebagai pelopor organisasi ini ialah Ahmad ibnu Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Nashr Al-Busti yang terkenal dengan sebutan Al-Muqaddasi, Zaid ibnu Rifa’ah dan Abu Al-Hasan Ali ibnu Harun Al-Zanjany.
Konsep Pendidikan Ikhwan as-Shafa
Menurut Ikhwan as-Shafa, bahwa perumpamaan orang yang belum dididik dengan ilmu akidah, ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan mudah untuk dihilangkan. Organisasi ini memandang pendidikan dengan pandangan yang bersifat rasional dan empirik, atau perpaduan antara pandangan yang bersifat intelektual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang dapat diketahui di alam ini. Dengan kata lain ilmu yang dihasilkan oleh pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan-bahan informasi yang dikirim oleh pancaindera.
Ikhwan as-Shafa memandang bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicapai melalui dua cara :
Pertama, dengan cara mengunakan panca indera terhadap objek alam semesta yang bersifat empirik. Ilmu model ini berkaitan dengan tempat dan waktu.
Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh orang lain. Ilmu yang dicapai dengan cara yang kedua ini hanya dapat dicapai oleh manusia, dan tidak dapat dicapai oleh binatang.
Dengan cara yang kedua ini pula manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Selain itu Ikhwan as-Shafa menyebutkan tentang ilmu yang dapat dicapai melalui tulisan dan bacaan dengan cara ini manusia dapat memahami kalimat, bahasa, dan bacaan.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
a. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong).Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun.
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Wallahu A'lam
Dari berbagai sumber
0 komentar:
Post a Comment