Mendaki Tebing Yang Terjal
0
komentar
Saat mendaki kadang menemui tebing yang terjal, dan saat menurun berjumpa dengan lubang-lubang yang menganga. Kiri-kanan jalan pun bisa berupa sawah yang membentang atau jurang yang curam. Hidup itu selalu berhadapan dengan tantangan, besar atau kecil, mudah atau sulit. Perjalanan sebuah organisasi tak ubahnya seperti perjalanan hidup manusia, juga mengalami pasang surut dan berhadapan dengan rintangan dan tantangan.
Tantangan dan rintangan itu sejatinya adalah ujian sekaligus peluang untuk meningkatkan kapasitas personal dan komunal. “Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut : 3) Bahwa ujian itu selalu ada dan terjadi. Kadang berbuah kesyukuran, kadang juga berbuah kekufuran. Saat berhadapan dengan ujian, ada yang mampu bersabar, yaitu Ash Shadiqin (orang-orang yang benar). Ada yang tidak mampu bersabar saat berhadapan dengan bala` dan tidak mampu bersyukur ketika memperoleh nikmat.
Tsabat bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta cobaan di jalan kebenaran. Dan tsabat bagai benteng bagi pemimpin dan orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya. Ia sebagai daya tahan yang melahirkan sikap pantang menyerah. Tsabat itu ketahanan diri dalam menghadapi berbagai hal yang merintanginya, hingga organisasinya mampu meraih cita-cita dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Dalam tsabat ada kemuliaan karena adanya konsistensi pada prinsip yang diyakininya serta tidak larut bersama arus.
Tsabat itu berarti senantiasa bekerja dan berjuang, menempuh perjalanan yang amat panjang sampai batas akhir terminal kehidupan, dengan kemenangan di dunia ataupun gugur di medan laga. “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”. (QS. Al Ahzab : 23).
Tantangan yang berkesinambungan berupa faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal adalah pihak-pihak luar yang tidak menginginkan organisasi tersebut tumbuh dan berkembang. Mereka berupaya untuk memangkas pertumbuhannya atau mematikannya. Sebab dengan tumbuhnya organisasi itu akan bertabrakan dengan kepentingannya. Adapun tantangan internal berupa sikap, perilaku, moral yang dimiliki para anggota atau kebijakan-kebijakan internal organisasi itu yang menyimpang dari idealitas.
Rasulullah Shallaallahu `Alaihi Wa sallama pernah mendapat tawaran menggiurkan dengan syarat meninggalkan dakwah yang beliau tekuni. Imbalannya cukup besar; kekuasaan, kekayaan atau wanita. Tetapi dengan tegar beliau menolak dan membaca firman Allah, “Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan…”. (QS. Fushilat : 1- sampai dengan ayat 13).
Pada perang Tabuk ada palajaran berharga tentang tsabat ini. Perang Tabuk atau dikenal juga dengan ghazwa al `usrah (peperangan sulit) adalah ujian bagi kaum muslimin. Yang beriman dipastikan turut serta dalam peperangan itu, sementara orang-orang munafik dipastikan tidak turut serta. Tapi ada tiga orang mukmin, dikarenakan udzur, tidak turut dalam peperangan yang tejadi di bulan Rajab tahun ke-9 hijriyah itu, yaitu Ka`ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi`.
Karena absen dari peperangan, Rasulullah menjatuhkan sanksi. Ka`ab dan dua sahabatnya dikucilkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Bahkan istri-istri mereka juga tidak menegur. Hukuman itu berlangsung sekitar 50 hari. Sanksi itu dirasa berat oleh ketiga sahabat itu hingga bumi yang luas terasa sempit. Ka`ab bin Malik bercerita, di saat merasakan pedihnya sanksi itu, datang utusan Raja Ghassan membawa surat untuknya. Surat itu sebagai bentuk solidaritas dari Raja Ghassan untuk Ka`ab dan teman-temannya yang tengah menjalani hukuman. Dalam suratnya Ghassan memberi tawaran kepada Ka`ab untuk meninggalkan Muhammad dan para sahabatnya, Ka`ab akan diberi kedudukan terhormat. Setelah membaca surat itu Ka`ab berkomentar, “Wa hadza aidlan min al bala`’, tawaran ini adalah musibah dan ujian juga. Ka`ab menolak, meskipun ia terbebani sanksi, godaan dan tawaran dari Raja Ghassan tidak mampu melunturkan keteguhan Ka`ab untuk tetap setia kepada Nabi Muhammad -shalla Allahu `alaihi wa sallama- dan kaumnya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Taubah : 118)
Pada masa khalifah Al Ma`mun terjadi fitnah khalqu al Quran (Al Quran sebagai makhluk). Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang diinginkan Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin, Imam Ahmad bin Hambal menerima hukuman penjara dan cambuk. Salah satu murid beliau datang dan meminta kepada sang Imam untuk menuruti saja apa yang diinginkan oleh khalifah. Imam Ahmad menjawab, “Lihatlah di luar! Masyarakat membawa kertas dan pena, mereka menanti apa jawabanku kemudian mereka akan menulisnya. (Bila aku katakan demikian), diriku selamat tapi aku membuat mereka tersesat.”
Namun tidak sedikit orang yang kendur daya tahannya. Ada yang berguguran karena tekanan materi. Tergoda oleh rayuan harta benda, membuatnya berani mengkhianati hati nurani dan cita-cita organisasi. Bahkan ia akhirnya sangat haus dan rakus pada harta benda duniawi yang fana ini. Dan ia jadikan harta benda itu sebagai tuhannya. Ada pula yang rontok daya juangnya karena tekanan keluarga. Keluarganya menghendaki sikap hidup yang berbeda dengan nilai dan keyakinannya. Ada juga yang tidak tahan karena tekanan politik yang sangat keras.
Oleh karena itu sikap tsabat mesti berlandaskan istiqamah pada petunjuk- petunjuk suci (al istiqamah `ala al huda). Berpegang teguh pada ketaqwaan dan kebenaran hakiki, tidak mudah terbujuk oleh bisikan nafsu dan tekanan orang lain. Sehingga diri kukuh untuk memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian. Ia tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk menyimpang.
Tsabat melahirkan keberanian menghadapi realita hidup. Ia tidak cengeng dengan beragam persoalan. Malah ia mampu mengendalikan permasalahan. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (QS. Al Anfal : 45).
Al Buhturi dalam baris syairnya mengungkapkan bahwa jiwa yang berani akan siap menghadapi resiko apapun dan akan tetap tegar berdiri di atas keyakinannya, ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu, jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menggelora’. Sebab jiwa yang semacam itu menjadi bukti bahwa ia benar dalam mengarungi bahtera hidupnya.
Tsabat mengantarkan pada ketenangan hati. Ketenangan hati menumbuhkan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama dalam berinteraksi dengan banyak kalangan. Karena itu sikap tsabat menjadi cermin kepribadian. Dan cermin itu berada pada bagaimana sikap dan jiwanya dalam menjalani arah hidupnya, juga bagaimana ia menyelesaikan masalah-masalahnya.
Semua orang sangat membutuhkan cermin untuk memperbaiki dirinya. Dari cermin kita dapat mengarahkan sikap salah kepada sikap yang benar. Dan cermin amat membantu untuk mempermudah menemukan kelemahan diri sehingga dengan cepat mudah diperbaikinya. Rasulullah –Shalla Allahu `alaihi wa sallama- mendudukan peran seorang mukmin bagi cermin bagi mukmin lainnya.
Tsabat adalah cermin diri. Karena tsabat dapat menjadi mesin penggerak jiwa-jiwa yang rapuh. Ia dapat mengokohkannya. Tidak sedikit orang yang jiwanya mati, tapi hidup kembali karena mendapatkan energi dari ketsabatan seseorang. Ia bagai inspirasi yang mengalirkan udara segar terhadap jiwa yang limbung menghadapi segala kepahitan. Seorang ulama mengingatkan, “Berapa banyak orang yang jiwanya mati kemudian menjadi hidup, dan jiwa yang hidup menjadi layu karena daya tahan yang dimiliki seseorang”. Dan disitulah fungsi dan peran tsabat.
Setiap kesuksesan dan kejayaan memerlukan sikap tsabat dan istiqamah dalam mengarungi aneka ragam bentuk kehidupan. Tentu tidak akan ada kesuksesan dan kejayaan secara cuma-cuma. Ia hanya akan dapat dicapai manakala kita memiliki prasyaratnya. Yakni sikap tetap istiqamah menjalani hidup ini. Keteguhan hati merupakan benteng yang sesungguhnya. Bagi yang memperkokoh bentengnya niscaya ia tidak akan mudah goyah oleh badai sekencang apapun.
Kegemilangan organisasi hanya dapat diraih oleh sikap konsisten terhadap prinsip. Tidak mudah larut oleh desakan kepentingan yang mengarah pada kecenderungan duniawi. Tanpa sikap tsabat, akan mudah terseret pada putaran kehancuran dan kerugian dunia dan akhirat. “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami. Dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat pula sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami”. (QS. Al Isra’ : 73 – 75). Sikap ini menjadi daya tahan terhadap tantangan apapun dan dari sanalah ia mencapai kejayaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah -shalla Allahu `alaihi wa sallama- pada Khabab bin Al ‘Arts agar tetap bersabar dan berjiwa tegar menghadapi ujian, bukan dengan sikap yang tergesa-gesa. Apalagi dengan sikap yang menginginkan hidup ini tanpa hambatan dan sumbatan.
Untuk mencapai sasaran hidup yang dikehendaki tidak ada jalan lain kecuali dengan bermodal tsabat. Teguh meniti jalan yang sedang dilaluinya, meskipun perlahan-lahan. Dalam dunia fabel dikisahkan kura-kura dapat mengalahkan kancil mencapai suatu tempat. Kura-kura meski jalan pelan-pelan namun akhirnya menghantarkan dirinya pada tempat yang dituju.
Imam ‘Athaillah al Sakandary menasehati muridnya untuk selalu tekun dalam berbuat agar meraih harapannya dan tidak cepat lelah atau putus asa untuk mendapatkan hasilnya. ‘Barang siapa yang menggali sumur lalu berpindah pada tempat yang lain untuk menggali lagi dan seterusnya berpindah lagi maka selamanya ia tidak akan menemukan air dari lobang yang ia gali. Tapi bila kamu telah menggali lobang galilah terus hingga kamu dapatkan air darinya meski amat melelahkan’. Karenanya ketekunan dan ketelatenan menjdi alat bantu untuk mencapai cita-cita dan harapan yang dikehendakinya. Dan kedua hal itu merupakan pancaran sikap tsabat seseorang.
“Duhai pemilik hati, wahai pembolak balik jiwa, teguhkanlah hati dan jiwa kami untuk senantiasa berpegang teguh pada agama-Mu dan ketaatan di jalan-Mu”
Ikadi
Ikadi
0 komentar:
Post a Comment